![]() |
(Sumber gambar: devonapixie[dot]wordpress[dot]com) |
Cuek? yah, kau adalah laki-laki paling cuek yang pernah kukenal. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di SMP 70 (semester II) dulu, saat ibu guru memperkenalkanku sebagai siswa baru di depan kelas dan hampir semua siswa (laki-laki) menyorakiku, kulihat kau tetap khusyu membaca buku. Setelah waktu istirahat tiba, beberapa siswa (laki-laki) datang menggangguku, kulihat kau hanya berlalu.
Tapi,
tidak kala Reza, siswa paling nakal di kelas, melecuti jilbabku. Tiba-tiba kau
datang lalu merampas jilbab itu dari tangannya kemudian menyerahkannya padaku
yang sedang bersimbah air mata. Aku meyangka Reza akan memukulmu tapi tidak
karena ternyata kau bersahabat baik dengannya.
Sejak saat itu, kita mulai saling kenal tapi belum
akrab. Jika kita kebetulan berpapasan, kau hanya tersenyum. Tapi tatkala kau
tahu ternyata aku fasih bahasa inggris, kau sering bertandang ke bangkuku,
kerap menelponku dan kita berdiskusi. Setiap ada pekerjaan rumah bahasa
inggris, kita menyelesaikannya dengan cepat. Karena aku cakap dalam tata bahasa sedang kau banyak
hafal kosa kata. Menurutku kemampuan itu kau peroleh dari kebiasaan menonton
film hollywood.
Kita semakin akrab apalagi saat mengidolakan band yang
sama: sheila on 7. Jika waktu
istirahat, saat siswa-siswa lain bermain atau belanja di kantin, berdua kita
mendengar lagu-lagu milik band asal Yogyakarta itu dari tablet milikku sambil membaca syairnya yang kuunduh dari internet.
Kelak jadi kebiasaanku mendengar lagu kisah klasik untuk masa depan [1] bila aku rindu padamu.
***
Jinnah, aku tak pernah membayangkan kisah kita suatu
saat akan menjadi kisah klasik karena hidup kembali mempertemukan kita di SMA
16. Kala itu kita semakin dekat karena kau menjabat ketua Osis, aku
mendampingimu sebagai sekretaris.
Ingatkah kau, ketika aku terkapar dilindas tipes
karena kegiatan reuni akbar sekolah kita mengeruk tenagaku hingga tandas.
Akibatnya, aku harus masuk rumah sakit. Kaulah yang setia dan sabar menjagaku
selama dua hari karena orang tuaku ke Yogyakarta. Setelah mereka datang, hampir
tiap hari kau menjengukku hingga aku keluar dari rumah sakit. Sungguh, kau
adalah sahabat yang sangat baik.
Bukan saja kebersamaan di Osis yang semakin
mempersingkat jarak antara kita tapi juga beberapa perlombaan. Sekolah
terlampau sering mengirim kita mengikuti lomba scrabble, pidato dan debat bahasa inggris tingkat kabupaten atau
provinsi. Dan kita pun tak pernah mengecewakan sekolah karena jika bukan juara
1 maka juara 2 dan 3 yang kita persembahkan. Kebersamaan itulah yang
menerbitkan satu kesimpulan: di mana ada aku, di situ ada kau. Pun sebaliknya [2]. Tak heran jika kabar-kabar tak
sedap berhembus tentang kita.
Jinnah, jika kau sering mendengar gosip tentang kita
saat itu, maka (mungkin) kau akan marah karena banyak siswa menganggap kita
pacaran. Jelas, jika gosip itu benar maka akulah yang sangat dirugikan. Karena
kala itu aku tak memiliki pacar sedang kau adalah laki-laki luar biasa
persoalan mendapatkan
perempuan.
Jinnah, masihkah kau ingat ketika kau taruhan dengan
Andi Syukur untuk mendapatkan Kartika, siswa kelas 1 yang memiliki senyum
seindah bulan sabit itu.
Padahal kau telah memiliki Ani, Anti dan Dewi. Belum lagi hubungan tanpa
statusmu dengan Citra, Rara dan Nasrah.
Jinnah, perempuan mana yang tak tergila-gila padamu,
selain ketua Osis, kau juga pintar bahasa inggris dan jago basket. Oh iya, aku
hampir lupa, pernah kubertanya pada beberapa pacarmu: apa yang membuatmu
tertarik pada Jinnah? Mereka menjawab karaktermu yang cool.
Bagaimana denganku? Sejak SMP hingga SMA aku tak
memiliki pacar. Bukannya aku tak jatuh cinta pada laki-laki tapi begitu sukar
menunjukkan rasa cintaku pada mereka. Memalukan jika aku yang harus menyatakan
cinta.
Jinnah, masihkah tersimpan di benakmu saat kita SMP
kelas 3. Aku memintamu menjadi jembatan agar aku mampu terhubung dengan Wawan.
Tapi kau tak pernah serius menjadi jembatan. Wawan terlanjur pindah sekolah.
Cintaku layu sebelum mekar. Aku kecewa dan marah lalu mendiamimu selama tiga
hari.
Selanjutnya, kala kita SMA kelas 3, aku kembali
memintamu menjadi jembatan. Laki-laki yang sangat kucintai (dalam hati) selama
dua tahun adalah Arman. Aku optimis kau bisa menjadi jembatan yang baik karena
dia adalah sahabatmu. Tapi kau malah berkata "ungkapkan cinta sendiri
saja, tak usah melibatkan aku". Jinnah, pada bagian ini kau betul-betul
tak memahamiku. Mana mungkin perempuan yang menyatakan cintanya pada laki-laki!
Sekali lagi aku harus menanggung perihnya derita cinta
yang tak sampai. Sungguh, aku
terpukul. Sepekan lamanya aku tak masuk sekolah. Aku hanya mengurung diri di
kamar lalu menangis sepilu-pilunya. Jinnah, bagian ini tak pernah kuceritakan
padamu karena buat apa aku menceritakannya karena kau tak pernah mencoba peduli
padaku jika berkaitan dengan masalah cinta.
Hidupku harus berjalan tanpa cinta. Tertatih-tatih
kutapaki usia sekolah yang beranjak senja. Aku harus konsentrasi belajar agar
lulus UN. Aku harus menggapai cita-citaku: guru
bahasa inggris.
Kulihat dirimu pun serius menghadapi UN. Ikut
pelajaran tambahan pada sore hari di sekolah, belajar kelompok dan rajin
mengerjakan prediksi-prediksi soal UN. Kuyakin semua itu kau jalani dengan terpaksa.
Kau adalah tipe orang yang tak berminat melakukan pekerjaan dengan
sungguh-sungguh bila tak berhulu dari minatmu. Selama ini kau hanya berminat
pada basket, organisasi, sastra dan bahasa inggris.
***
Akhirnya kita lulus UN. Berselang sekitar tiga bulan
kita menempuh SBMPTN, hasilnya, aku lulus di jurusan pendidikan bahasa dan
sastra inggris di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sedang kau lulus di
jurusan bahasa dan sastra inggris Universitas Negeri Makassar (UNM).
Jika memang dapat memilih, aku juga ingin kuliah di
UNM tapi aku harus ikut ayah yang dipindahtugaskan ke Yogyakarta. Air mataku
berderai saat pesawat terbang
perlahan meninggalkan bandara Sultan Hasanuddin. Entah kapan aku kembali
ke Makassar. Jinnah, selama tiga hari di Yogyakarta, sedih masih
menyelimutiku.
***
Jinnah, masihkah terkenang olehmu, kala genap setahun
perpisahan kita. Aku bertanya apakah kau masih pacaran dengan Kartika atau
telah menemukan perempaun lain? Namun, tiap kali aku bertanya kau selalu
mengalihkan pembicaraan.
Maka aku bertanya pada Mia, teman SMA kita yang
kebetulan kuliah satu fakultas denganmu. Dia berkata bahwa kau telah banyak
berubah, tidak lagi memiliki pacar dan rutin kajian di mesjid kampus. Jinnah,
secepat itu kau berubah. Maka tiap kali aku menelponmu atau sebaliknya, ku
cecar kau dengan banyak pertanyaan, utamanya kajian apa atau organisasi apa
yang membuatmu demikian.
Akhirnya kau berterus terang. Pelatihan salat
khusyulah yang membuatmu berubah. Sepekan setelah kegiatan itu, kau merasa
tenang menjalani keseharian dan senantiasa mengucurkan air mata tatkala salat. Tapi sepekan berlalu,
ketenangan dan kekhusyuan itu hilang. Kau berusaha keras mendapatkannya kembali
dengan salat tahajud tiap hari dan puasa saban senin dan kamis tapi gagal.
Kau mencoba memutuskan hubunganmu dengan Kartika dan
ternyata berhasil mendapatkan kembali ketenangan dan kekhusyuan itu. Sejak itu kau
menancapkan komitmen tak akan lagi memintal kasih dengan perempuan hingga yang
dihalalkan syariat. Pantas saja sms yang sering kau kirimkan adalah sms yang
selalu mengingatkanku agar tidak melalaikan salat lima waktu. Jinnah, rupanya kau
pun hendak mengajakku mereguk madu surga.
Memasuki gerbang tahun kedua perkuliahan, kau selalu
bercerita tentang kesibukanmu di lembaga penerbitan mahasiswa, himpunan
mahasiswa jurusan dan komunitas literasi Parangtambung. Kau juga mulai
mengarang cerpen lalu mengirimkannya ke koran. Dan menerjemahkan beberapa puisi
penyair dunia. Sedang aku, tak ada yang menarik kuceritakan. Aku hanya mengisi
waktu dengan kuliah dan merawat ibu yang separuh tubuhnya lumpuh tersengat
stroke.
***
Jinnah, pada tahun ketiga perkuliahan, aku dirundung
masalah yang cukup menguras energi pikiranku. Ayah hendak menikahkanku dengan
anak salah seorang kerabat dekatnya. Jelas aku menolak karena masih ingin
kuliah. Menyandingkan antara mengurus suami dan kuliah tentu beban yang begitu
berat, belum lagi jika telah berbadan dua.
Besar keinginanku menceritakannya padamu tapi tak lega
jika hanya melalui telepon. Aku sangat ingin bertemu denganmu dan menumpahkan
segenap lara ini.
Jinnah, sebab tingginya angan-anganku suatu waktu bisa
ke Makassar lagi, aku menabung uang mulai dari semester pertama.
Sementara kau saat itu telah bercerita tentang beberapa cerpenmu yang
terpublikasi di koran lokal dan nasional. Puisi Emily Dickinson yang kau
terjemahkan telah masuk dalam sebuah antologi.
Jinnah, semester tujuh adalah masa yang harus kulalui
dengan langkah yang tersaruk-saruk.
Penyakit ibu tak kunjung sembuh. Aku pun mulai menggarap skripsiku tapi
tanpa kusangka ayah terserang glaukoma dan akhirnya dipensiun dinikan.
Jinnah, jika penderitaan telah penuh menyesaki dadaku,
terkadang kukutuk diriku sebagai anak tunggal yang tak mampu melakukan sesuatu.
Aku tak mampu lagi mengurai segala pedih ini jika hanya melalui telepon.
Jinnah, sungguh ku ingin bertemu denganmu namun uang yang kutabung itu belum
cukup meski hanya untuk membeli sebuah tiket kapal laut.
Sedang kau, jangankan menggarap skripsi, beberapa mata
kuliahmu saja masih banyak yang harus diulang. Kau dimabuk mengarang,
menerjemahkan puisi dan terlalu sibuk berorganisasi.
Kau pun tak pernah menghubungiku lagi selama setengah
tahun. Aku sering mengirimimu sms tapi tak kau balas. Tidak terhitung pula
berapa kali kumenelponmu tapi tak kau jawab.
Jinnah, kupikir aku telah kehilanganmu kala itu hingga
pada suatu malam teleponku berdering. Ku tatap layarnya, ternyata panggilan itu
darimu. Langsung kujawab. Ketika kau mengucapkan salam, seketika itu pula
tangisku pecah.
Sebelum pembicaraan kita berakhir malam itu, kau
berjanji tidak akan meninggalkanku lagi. Aku sangat berharap kau tak ingkar
janji terutama kala itu karena ibu berpulang ke pangkuan yang maha kuasa
bertepatan dengan hari pelaksanaan wisudaku.
Sungguh, aku membutuhkan
orang yang mampu menghibur dukaku dan yang mampu hanyalah kau, Jinnah.
***
Jinnah, betapa bahagianya aku saat memperoleh beasiswa
melanjutkan pendidikan ke S2. Itu artinya aku berpeluang jadi dosen. Jinnah,
jika nantinya aku sukar jadi dosen di Yogyakarta, aku akan menjadi dosen di
Makassar saja. Kita nanti akan sering bertemu lagi.
Kau juga begitu bahagia saat itu, selain telah meraih
gelar sarjana, buku kumpulan puisi terjemahanmu juga akan segera terbit.
Salah satu puisi dalam antologi itu terdapat puisi
Carolyn Kizer yang berjudul reunion.
Puisi itu kau terjemahkan untukku karena kau rindu kita reuni. Aku tak pernah
sempat mengikuti reuni dengan teman-teman semasa SMP atau SMA yang rutin
dilaksanakan saban setelah lebaran idul fitri. Tiap kali setelah reuni, kau
selalu bercerita tentang keberhasilan beberapa teman kita: Reza yang telah sukses sebagai pengusaha,
Ani jadi dokter gigi dan Andi
Syukur telah jadi arsitek.
***
Jinnah, sebenarnya bukan hanya uang yang tak cukup
yang menyebabkan aku tak bisa ke Makassar. Selain harus merawat ayah, aku juga
terhalang oleh kuliah S2 yang ternyata lebih banyak membutuhkan perhatian
dibanding kuliah S1 dulu.
Tapi mungkin Tuhan mengabulkan doaku selama ini, tiga
rintangan itu teratasi. Uangku telah cukup untuk seluruh biaya transportasi
Yogyakarta-Makassar. Ayah untuk sementara dirawat dulu oleh tanteku yang kebetulan datang dari Jakarta.
Semua mata kuliahku telah selesai dan judul tesisku telah disepakati pembimbing. Jinnah, alangkah
bahagianya aku saat itu.
Jinnah, kebetulan kedatanganku bertepatan dengan hari
ulang tahunmu yang ke 25. Tapi maafkan aku karena hanya mampu memberimu hadiah
novel Gabriel Garcia Marquez: seribu
tahun kesunyian. Seharusnya aku menghadiahkanmu sesuatu yang lebih baik lagi
karena telah delapan kali kau berulang tahun tapi tak pernah kuberi hadiah.
Mungkin buku tak pantas lagi bagimu karena saat SMP dan SMA, aku telah
menghadiahkan topi, kaos oblong, jam tangan, CD lagu band incubus dan buku
Kahlil Gibran: musik dahaga
jiwa.
***
Jinnah, kemana kau kala itu? Kau berjanji akan datang
menjemputku di bandara. Berulang kali aku menelponmu tapi tidak kau jawab. Aku
menunggumu selama empat jam namun kau tak kunjung datang. Untung saat itu Mia
tak mengajar jadi dialah yang menjemputku. Sebenarnya aku masih ingat jalan ke
rumah Mia tapi kupikir waktu enam tahun telah banyak merubah jalur-jalur pete-pete [3] di Makassar. Dan yang paling penting adalah aku ingin kau yang menjemputku.
***
Hari pertama di Makassar kau tak datang menemuiku.
Hari kedua dan ketiga pun begitu. Kau tak pernah menjawab panggilanku jika
kutelepon. Apakah sesibuk itu kau mengarang dan menerjemahkan puisi hingga tak
meluangkan sedikit pun waktu menemuiku? Tapi hari keempat aku harus pulang karena ayah meninggal. Beliau
terjatuh di kamar mandi lalu kepalanya terbentur di lantai. Jinnah, novel Gabriel Garcia Marquez kutitip pada Mia. Apakah kau sudah mengambilnya?
***
Telah sepuluh tahun berlalu sejak kau tak datang
menemuiku kala di Makassar dulu Jinnah. Aku pun berjanji tak akan menghubungimu
lagi. Kuberharap kau paham alasanku ketika kau selalu mengirim sms tapi tak
kubalas, kau menelpon tapi tak kujawab.
Aku memohon maaf jika selama ini aku pernah menyakiti
hatimu, begitu pun sebaliknya. Aku tak akan pernah melupakan persahabatan kita
Jinnah. Untuk mengenang itu maka kuberi nama putra pertamaku sama dengan
namamu.
Jinnah, ketika kau membaca surat ini, itu artinya aku telah tiada. Aku
harus pasrah ketika kanker payudara
jadi jalan kepergianku.
Kuwariskan kenangan ini padamu, kumohon kau merawatnya dengan baik.
Makassar, Juni 2010
Keterangan:
[1].Salah satu judul lagu sheila on 7 dari album kisah klasik untuk masa depan
[2].Kalimat tersebut dikutip dari cerpen Benny Arnas
berjudul "bumi itu bulat, cintaku" (Suara Pembaruan, 02 Mei 2010)
[3].Pete-pete: transportasi angkutan kota
*Cerpen ini adalah hadiah ulang tahun yang tak pernah kukirim untuk seorang teman: MA.
Tiada yg lebih indah,tiada yg lebuh rindu. Selain hatimu,andai ia tahu.
BalasHapus