Remaja, Galau, dan Menulis

Daripada menulis status lebih baik menulis di diary




   Dalam bukunya berjudul write where you are: how to use writing to make sense of your life, Caryn Mirriam-Goldberg menulis seperti ini: Saya berusia empat belas tahun sewaktu duduk di tangga beton di depan apartemen sahabat karib saya...Kami baru saja bertengkar hebat...Di rumah, kedua orang tua saya menghadapi perceraian terburuk abad ini...Saya pikir, hidup saya hancur, dan saya tidak tahu harus berbuat apa (hal 16).
   Saat itu Caryn Mirriam-Goldberg galau karena dua masalah besar yang ia hadapi. 
   Galau dalam KBBI memiliki persamaan kata dengan kacau pikiran, bimbang, bingung, cemas dan gelisah. Kata galau akan lebih tepat bila disebut bimbang, namun pengertiannya lebih pada arah bentuk kecemasan seseorang.Kecemasan adalah perasaan tak nyaman berupa rasa gelisah, takut, atau khawatir yang merupakan manifestasi dari faktor psikologis dan fisiologis. Kecemasan dalam kadar normal merupakan reaksi atas stress yang muncul guna membantu seseorang dalam merespon situasi yang sulit [1].
   Jika selama ini yang kita ketahui galau hanya dirasakan remaja, sebenarnya dirasakan juga oleh orang dewasa bahkan orang lanjut usia.
   Remaja galau karena prestasinya menurun di sekolah, dikhianati teman atau patah hati. Orang dewasa galau lantaran belum sarjana, belum dapat kerja atau karirnya yang mandek. Orang lanjut usia galau karena penyakitnya yang semakin parah atau cucunya yang nakal.
   Setiap kelompok umur mengalami kegalauan namun mereka mereka menyikapinya dengan cara berbeda.
   Pada umumnya orang dewasa dan lanjut usia sabar dan menyembunyikannya. Sebaliknya remaja, uring-uringan dan mengumbar kegalauannya. Bahkan beberapa remaja yang galaunya tak kunjung reda hingga putus asa dan memutuskan bunuh diri.
   Sebenarnya ada banyak solusi untuk meredakan kegalauan, diantaranya seperti yang dilakukan Caryn Mirriam-Goldberg saat itu: saya pun mulai menulis
   Namun bukan menulis status di Facebook atau berkicau di twitter. Saya tak menyarankan itu karena bisa berakibat fatal. Mengapa? Izinkan saya menjawabnya dengan contoh: seorang remaja yang galau karena patah hati dan orang tuanya akan cerai, menulis status di FB. Lalu ada orang yang mengomentari dengan nasehat yang penuh simpati. Jika orang itu baik, tak jadi masalah. Jika sebaliknya?
   Di lain waktu, remaja itu galau lagi, dikomentari lagi oleh orang yang sama, maka perlahan tumbuh keyakinan dalam diri remaja itu bahwa orang itu sangat memperhatikannya. Kemudian mereka bertukar nomor handphone. Setelah sangat akrab, mereka bertemu. Dan orang yang memang sedari awal berniat jahat akan mentuntaskannya dengan cara yang jahat pula. Bagi remaja laki-laki, bisa saja dicekoki narkoba. Bagi remaja perempuan akan diperkosa.
   Dari berita kriminal yang kutonton di Tv, cara seperti inilah yang digunakan sindikat penjual narkoba atau sindikat perdagangan manusia.
   Jadi kusarankan untuk menuliskan kegalauan itu di buku harian. Sekalipun kalian remaja laki-laki. Dengan membuat catatan harian tak akan mengurangi kelaki-lakian kalian.
  Tapi jika dirasa kegalauan itu semakin menghimpit, konsultasikan pada orang-orang dewasa yang sangat dipercaya seperti saudara, orang tua atau guru.
   Saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip persaksian Caryn Mirriam-Goldberg pada bab pertama bukunya itu: menulis menyelamatkan hidup saya.

Daftar Rujukan.
Caryn Mirriam-Goldberg. Write where you are: how to use writing to make sense of your life dialihbahasakan ke bahasa indonesia dengan judul daripada bete, nulis aja!: panduan nulis asyik di mana saja, kapan saja, jadi penulis beken pun bisa! Cetakan III, januari 2005. Mizan pustaka. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Remaja, Galau, dan Menulis"

Posting Komentar