Teknik Mengarang: Wawancara Diri Sendiri

wawancara diri sendiri


Dalam tulisan kali ini, saya akan membagikan dua teknik yang sering kugunakan dalam mengarang cerita pendek. Keduanya adalah teknik 5W + 1H dan teknik wawancara imajiner. Teknik pertama berasal dari buku Gola Gong dan teknik kedua berasal dari ebook AS. Laksana.

Dalam menerapkan teknik ini, terserah dari pengguna ingin melakukan yang mana terlebih dahulu. Saya biasanya menggunakan wawancara imajiner terlebih dahulu kemudian mulai menyusun kerangka karangan dan paragraf pertama dengan 5W + 1H.

Wawancara imajiner adalah wawancara yang dilakukan dengan tokoh yang sama sekali tak ada di dunia ini, tokoh yang hanya hidup dalam khayalan Buat pertanyaannya dan perkirakan tokoh itu akan menjawab seperti apa pertanyaan yang telah dibuat. Intinya tanya dan jawab sendiri.

Teknik 5W + 1H: what, who, why, when, where dan how lazim digunakan untuk menulis berita. Dan sangat baik pula digunakan untuk memulai menulis cerita atau menyusun kerangka karangan. Sebagai panduan, maka tentukan terlebih dahulu: siapa (tokoh) melakukan apa (tema cerita). Mengapa (plot) dan bagaimana tokoh itu melakukannya (alur). Kapan (latar tempat) dan di mana (latar waktu). Dalam paragraf pembukaan, paling baik jika 5w + 1h itu ada. Kemudian pada paragraf selanjutnya masing-masing unsur itu dikembangkan.

Saya menyertakan contoh cerita yang kukarang dengan dua teknik ini. Contoh itu hanya terdiri dari tujuh paragraf , dan lebih jauh bisa dikembangkan menjadi cerita pendek, cerita pendek yang panjang bahkan novel.

Wawancara Imajiner dengan Sunre (Tokoh Utama)
P: Siapa nama anda?
J: Sunre
P: Anda bersaudara berapa orang?
J: Saya memiliki satu orang adik tapi mereka meninggal saat saya masih kelas 3 SD
P: Apa yang anda lakukan pada dinihari itu?
J: Saya membunuh ayahku
P: Mengapa anda melakukannya?
J: Saya marah, kecewa, malu. Semuanya bercampur jadi satu.
P: Dengan cara bagaimana anda membunuhnya?
J: menikam dengan pisau di jantungnya
P: tepatnya jam berapa anda melakukannya?
J: saya tak ingat persis, mungkin sekitar pukul dua atau setengah tiga dinihari.
P: Di mana anda membunuhnya?
J: Di depan pintu
P: Mengapa anda marah hingga membunuhnya?
J: Dulu waktu saya masih kelas 2 SD, saya membantu ibu menjual putu di pagi hari dan setelah pulang sekolah, saya membantu ibuku menjual pisang goreng dan tarajju. Jika ibu memiliki untung lebih saya diberi. Uang itu tak kupakai jajan. Tapi kutabung. Saya mau membelikan ibu mukena baru di hari lebaran.
ibu terpaksa berjualan karena ayah tak kerja hanya sabung ayam dan mabuk-mabukan
Saat saya kelas 5 SD, saya merasa tabunganku sudah berat. Maka saya memecahkannya. Tapi setelah uangnya kukumpulkan, ayahku datang lalu menempelkan golok di leherku. Ia berkata: jika aku tak memberinya uang ia akan memenggal leherku. Akupun memberikannya dan sejak saat itu aku mulai dendam.
P: Lalu mengapa anda kecewa?
J: karena ayahku tak mencarikan kami uang seperti ayah-ayah yang lain. Ia hanya bisa mabuk dan sabung ayam. Namun saya paling kecewa ketika adikku meninggal. saat itu adikku ditabrak mobil dan mengalami pendarahan hebat. Kata dokter, ia butuh darah dan waktu itu persediaan darah di rumah sakit habis. Kami keliling mencari donor tapi karena kami miskin, tak ada yang mau jadi donor. Ayahku memiliki golongan darah yang sama tapi saat ia diminta jadi donor, ia malah pergi entah ke mana.
Akhirnya adikku meninggal dan ayahku baru kembali ke rumah sebulan kemudian.
Saat itu aku kecewa berat dan sangat ingin membunuhnya.
P: Lalu  mengapa anda malu?
J: Saya malu pada tetangga karena setiap pagi mereka menggunjingkan ayahku.
Ia selalu pulang pada dinihari dalam keadaan setengah mabuk dan meracau.
Bila aku atau ibu terlambat membuka pintu, ayah akan teriak sambil memaki dan menendang pintu. Itulah yang membuat tetangga sangat terganggu.
P: Bisa anda ceritakan secara detail bagaimana anda menikamnya?
J: Seperti biasa, pada sore hari, bapak akan selalu minta uang secara paksa pada ibu.
Saat itu ibu betul-betul tak punya uang. Sudah tiga hari putu, pisang goreng dan tarajju tidak laku terjual. Kamipun hanya makan sekali sehari. Tapi ayah tak mau mengerti, ia menampar ibu. Ibu sungguh tak punya uang. Kalung, anting sudah dijual. Ayah merebut cincin kawin ibu. Dan pada malam harinya ia pulang setengah sadar sambil membawa perempuan sewaan. Amarahku memuncak dan tubuhku seperti bergerak sendiri mengambil pisau dapur dan menancapkannya tepat di jantungnya.

Cerita Dari Hasil Wawancara
Aku membunuh bapakku pada dinihari itu di mulut pintu. Telah berkeping hatiku melihat ibu memikul derita dari lelaki keparat itu.
Ketika aku masih kelas 2 SD, aku membantu ibu menjual putu di pagi hari. Dan selepas sekolah, aku membantunya berjualan pisang goreng dan tarajju. Ibu terpaksa berjualan karena pekerjaan bapak hanya sabung ayam dan mabuk-mabukan. Jika ibu memiliki sedikit untung, ia biasa memberikannya kepadaku. Uang itu tak kupakai jajan tapi kutabung. Saya mau membelikannya mukena baru di hari lebaran. Mukena lamanya telah lapuk digerogoti waktu dan kemiskinan.
Tiga tahun kemudian, saya merasa tabunganku sudah berat, sayapun memecahkannya. Tapi setelah uangnya kukumpulkan, bapak datang lalu menempelkan golok di leherku. Ia berkata: jika aku tak memberinya uang ia akan memenggal leherku. Akupun memberikannya dan sejak saat itu kebencianku padanya telah lahir.
Aku terkadang iri pada anak-anak  yang lain karena bapak mereka yang bekerja cari uang. Sedang bapakku pulang dinihari dan baru bangun pada sore hari. Bapakku juga membuatku sangat kecewa karena menurutku ia penyebab satu-satunya kematian adikku. Saat itu adikku ditabrak mobil dan mengalami pendarahan hebat. Kata dokter, ia butuh darah dan waktu itu persediaan darah di rumah sakit habis. Kami keliling mencari donor tapi karena kami miskin, tak ada yang mau jadi donor. Ayahku memiliki golongan darah yang sama tapi saat ia diminta jadi donor, ia malah pergi entah ke mana. Akhirnya adikku meninggal dan ayahku baru kembali ke rumah sebulan kemudian. Benih-benih untuk membunuhnya mulai tumbuh dalam hatiku.
Bapakku juga selalu membuatku malu pada tetangga. Ia selalu pulang pada dinihari dalam keadaan setengah mabuk dan meracau. Bila aku atau ibu terlambat membuka pintu, ayah akan teriak sambil memaki dan menendang pintu. Itulah yang membuat tetangga sangat terganggu.
Seiring bergulirnya waktu, kelakuan bapak terhadapku dan ibu kian menambah kesumat dalam hatiku. Jika saja bukan karena ibu yang selalu meniupkan kesabaran ke ubun-ubunku, sudah kuhabisi ia jauh hari. Tapi pada dinihari itu, aku melihat ibu begitu terluka. Ia tak menangis lagi seperti biasanya bila bapak menyakitinya. Ia hanya duduk terdiam seperti ada kesedihan yang terus menggumpal  dalam hatinya.
Seperti biasa, pada sore hari, bapak akan selalu minta uang secara paksa pada ibu. Saat itu ibu sungguh tak punya uang. Kalung dan anting sudah dijual. Sudah tiga hari putu, pisang goreng dan tarajju tidak laku. Kamipun hanya makan sekali sehari. Tapi bapakku tak mau mengerti, ia menampar ibu. Bapak merebut cincin kawin ibu lalu pergi. Pada dinihari itu, ia pulang dalam keadaan mabuk dan membawa perempuan sewaan. Amarahku memuncak dan seperti ada kekuatan gaib yang mengendalikanku. Kuraih pisau dapur lalu kutancapkan tepat di jantungnya. (*)
Catatan:
Pada paragraf pertama hanya memuat unsur siapa melakukan apa dan mengapa. Kemudian pada paragraf selanjutnya, saya lebih banyak mengembangkan unsur mengapa sedangkan unsur yang lain hanya sebagai pelengkap.

Sumber bacaan.
AS. Laksana. Ebook Creative writing, tip dan strategi menulis cerpen dan novel.
Gola Gong.  Jangan mau gak nulis seumur hidup. Cetakan kedua, Februari 2008.

Sisipkan sedikit waktumu berkunjung ke galeriku: stikerisme

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Teknik Mengarang: Wawancara Diri Sendiri"

Posting Komentar