Buntu

Aku heran dengan diriku, saat masih kuliah aku sangat produktif menulis cerpen tapi enam bulan setelah sarjana belum ada satu pun cerpen yang kuhasilkan. Dulu aku mampu menghasilkan dua cerpen dalam sepekan bahkan saat masih siswa di SMA, aku mampu menghasilkan dua kali lipatnya.

Kemarin aku mencari kaset tape ku yang hilang. Aku membongkar barang-barang yang ada diatas lemari tanpa sengaja kutemukan sebuah buku tulis berwarna biru lalu membukanya. Kulihat baik-baik, sepertinya aku mengenal tulisan ini, tidak salah lagi, ini adalah tulisanku sendiri. Setelah kubaca tulisan itu ternyata cerpenku yang berjumlah delapan buah yang pernah kubuat tujuh tahun lalu. Begitu banyaknya cerpen yang pernah kutulis saat di SMA hingga aku lupa pernah menulis cerpen.

Dalam kebuntuan menulis cerpen ini, bukannya aku tak memiliki ide cerita tapi aku bingung dalam pengembangan ceritanya. Salah satu ide cerita yang terbersit dalam akalku adalah trend bunuh diri di pusat perbelanjaan yang kulihat di Televisi.

Rencananya ide cerita itu akan kukembangkan dengan bertumpu pada dua pertanyaan, yaitu mengapa mereka harus bunuh diri di tempat yang ramai, bukankah bila ingin bunuh diri di tempat sepi lebih baik?. Jangan sampai mereka tak berniat bunuh diri, mereka hanya ingin menjadi pusat perhatian?. Aku akan mengembangkan ceritanya ke ranah psikologi tapi aku bingung lagi penjabarannya dalam bentuk pragrag-pragraf.

Aku pernah membaca buku tentang metode menulis cerpen. Salah satu bab dalam buku itu menganjurkan membuat kerangka karangan bila penulis buntu dalam pengembangan ide cerita.

Tanpa pikir panjang aku membuat kerangka karangan tapi dalam pembuatannya fokus cerita malah bergeser dari cerpen dengan tema psikologi ke tema konspirasi kapitalis. Aku pusing.

Apa lagi yang harus kulakukan?. Aku ingin cari ide pengembangan cerita di internet, mustahil, di desaku, listrik saja masih pakai genset jadi pukul 22.00 Wita lampu sudah padam semua.

Saat masih SMA, aku tak pernah merencanakan cerpenku mau diarahkan ke jenis tema tertentu. Ketika ide ada, aku langsung menulis, terserah mau ke arah mana cerpen itu. Pokoknya ide cerita yang ada dalam pikiranku ibarat gelombang tsunami yang tak mampu kubendung. Hasilnya, aku pernah punya cerpen yang mengisahkan tentang pembunuhan berantai, penemuan negeri yang hilang, purgatory, horor, konspirasi politik dan pergaulan bebas.

Pikiranku mampet menulis cerpen tapi tidak dengan puisi. Aku mampu menghasilkan 20 puisi dalam jangka waktu enam bulan ini. Padahal dulu, jangankan mencipta puisi, membacanya pun aku kurang suka karena kata-kata yang digunakan dalam puisi begitu sulit dipahami. Kata-katanya terlalu canggih dan mutakhir.

Aku menduga keanehan ini mungkin bersangkut paut dengan bacaanku sekarang. Akhir-akhir ini saya senang membaca sajak-sajak Goenawan Mohamad, Dorothea Rosa Herliany dan M. Aan Mansyur.

Bila kebuntuanku ini memang berhubungan dengan bacaanku maka aku mencoba membuktikan dugaanku itu dengan memaksa diriku membaca cerpen. Kubaca kembali cerpen yang ada dalam koleksi referensiku, yaitu majalah Annida dan harian KOMPAS edisi hari minggu yang kubeli enam bulan lalu saat masih kuliah. Hasilnya, pikiranku tetap buntu menulis cerpen.

Aku mencoba pergi jalan-jalan ke sawah, mandi di sungai dan membersihkan mushalla. Jangan sampai aku dapat ide pengembangan cerita dalam lumpur, cipratan air dan daun-daun yang berguguran.

Aktifitas itu kulakoni selama tiga hari. Pada hari terakhir, aku seperti mendapat ilham pengembangan cerita. waktu itu siang sehabis shalat duhur. Setelah salam aku langsung lari keluar mesjid bahkan aku lupa memakai sandalku pulang. Pokoknya aku lari ke rumah, jalan yang becek kuterjang. Tiba di rumah, aku tak sempat lagi cuci kaki lalu menaiki tangga. Begitu terburu-burunya hingaa kaki kutersandung anak tangga hingga lututku lebam tapi tak kupedulikan. Pokoknya saat itu yang ada dalam pikiranku cuma satu, ilham pengembangan cerita ini harus segera kulampiaskan.

Ibuku jadi marah karena baru saja ia mengepel lantai tapi kotor lagi karena lumpur yang melekat di kakiku. Tiba di kamar, aku mencari pulpen dan kertas. Aku sudah dapat kertas tapi belum dapat pulpen. Kuacak-acak meja belajarku. Biasanya pulpen kusimpan dalam kotak bergambar spiderman tapi kali ini raib entah kemana. Tak mendapatkan pulpen dalam kamar, aku lari keluar menuju kamar ibuku. Akhirnya aku mendapatkan pensil yang biasa ibu gunakan untuk menghitamkan alisnya. pensil ini memang khusus untuk tata rias wajah. Sepuluh menit kemudian, terciptalah sebuah puisi bukan cerpen.

Aku menyerah dan tak ingin lagi menulis cerpen hingga dua pekan lamanya. Aku menyibukkan diriku dengan mengajar Geografi dan mengajar mengaji di mushalla.
Suatu malam, adikku yang duduk di kelas IV SD mendapat pekerjaan rumah mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu mengarang. Ia memintaku untuk menuliskannya karangan sambil menangis. Terpaksa aku memenuhi permintaannya.

Aku menulis apa saja yang berkelabatan dalam pikiranku. Begitu lamanya aku menulis, adikku yang menunggu PR-nya jadi tertidur. Terus menulis, terus menulis. Aku baru berhenti saat kertas dari buku tulis mata pelajaran bahasa indonesia milik adikku habis. Hasilnya adalah Tulisan yang anda baca saat ini.



Pertama kali dipublikasikan di Annida online, Desember 2009

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Buntu"

Posting Komentar