Labirin

“Mesjid raya pak?” tanyaku pada supir pete-pete yang hanya dibalas anggukan sekedarnya.

Kulangkahkan kakiku menaiki pete-pete kode F trayek pasar sentral - Jl. Vetran - terminal mallengkeri, segera kuletakkan pantatku lalu kusandarkan tubuhku yang lelah dan kuhembuskan nafasku dalam-dalam. Tubuhku lelah bukan main karena semalam menggambar peta tematik hingga tidak tidur. Di kampus, aku “teler” menggambar peta lagi. Pete-pete lalu tancap gas menyusuri jalan Mallengkeri yang kadang sumpek.

Tepat di jalan Kumala, depan SMA Frater, pete-pete menepi kekiri. Seorang ibu yang sedang hamil naik dengan hati-hati. Tangannya berpegang di bagian pinggir pintu pete-pete, tampak susah sekali ia naik. Kupandangi ibu itu, aku berspekulasi mungkin ibu ini sudah mengandung delapan bulan tapi kasihan ia keluar rumah tidak didampingi suaminya.

“Bagaimana kalau ia tiba-tiba ingin melahirkan, bisa gawat jadinya.” candaku dalam hati

Belum cukup 2 menit, pete-pete kembali berhenti. Seorang anak kecil memakai kerudung naik dengan cerianya, ibu yang ada dibelakangnya nampak khawatir menyaksikan kelincahan anaknya itu.

Di atas pete-pete anak kecil itu tidak berhenti bercerita tentang pengalamannya di sekolah, ibunya dan ibu hamil tadi tersenyum mendengarnya. Mungkin karena ibu yang punya anak ini pernah merasakan hamil dan ibu hamil ini yang penasaran sudah ingin menimang bayinya membuat mereka berdua berkenalan dan cepat akrab.

Jarak antara rumah dan kampusku yang harus ditempuh dengan dua kali berganti pete-pete membuatku bosan apalagi di jalan Urip Sumaharjo tepat di depan gedung DPR kadang macet. Tapi akhir-akhir ini waktu yang ada diatas pete-pete kunikmati karena kupakai sebagai waktu istirahat, hanya di atas pete-pete aku sukar menggambar peta.

Pete-pete melaju tenang di atas aspal yang bagai permadani hitam memanjang seolah tak ada batasnya. Tiba-tiba pete-pete berhenti dan dua orang siswi SMU naik sambil ketawa-ketiwi. Di atas pete-pete tiada hentinya ia ngobrol tentang pacarnya, gosip dan fashion apa yang sedang nge-trend. Mendengar percakapan mereka aku hanya bisa geleng-geleng.

“Bagaimana Indonesia bisa maju kalau siswi SMUnya hanya mengobrolkan “sampah”.”celetukku dalam hati.

Akhirnya pete-pete tiba disamping mesjid raya. Aku harus turun di sini untuk melanjutkan perjalanan menuju kostku di Jalan Perintis Kemerdekaan. Aku pun naik pete-pete dengan kode D trayek pasar sentral – BTP - Sudiang.

Sekitar 20 menit, pete-pete berhenti di Pongtiku. Dari dalam pete-pete mataku mengamati sepasang sejoli yang nampaknya beradu mulut. Wanita itu menunjuk-nunjuk muka laki-laki yang ada dihadapannya dan tiba-tiba wanita itu dengan ringannya menampar pipi laki-laki itu lalu berlari naik ke atas pete-pete dengan deraian air mata. Aku dan dua orang wanita paruh baya yang lebih dulu ada di atas pete-pete hanya bisa memandanginya dengan wajah penuh tanda tanya?.

Aku menduga kalau wanita itu diputuskan oleh pacarnya tapi penyebabnya pastinya aku tidak tahu. Apa karena pacarnya nyeleweng atau karena wanita ini hamil lantas pacarnya tidak mau tanggung jawab?.

Pete-pete kembali berjalan tiba-tiba lagu milik Bunga Citra Lestari yang berjudul “mengapa ini harus terjadi” terdengar :
Tuhan tolong aku untuk dapat memahami derita batinku ini
Tuhan bantu aku agar sanggup kurelakan bila dia bukan untukku
ternyata dari handphone wanita yang nangis itu.
“Bisanya pas.” kataku dalam hati lagi.

Mungkin penumpang yang lain tidak paham percakapan wanita yang sudah agak reda tangisnya itu karena ia memakai bahasa inggris tapi aku bisa memahaminya. Ternyata dugaanku benar, gadis ini diputuskan oleh pacarnya karena ia hamil dan menuntut tanggung jawab, celakanya pacarnya tidak mau tanggung jawab. Dalam masalah ini, apa pacarnya yang pecundang atau wanitanya yang tolo?

“Aku kenapa, tiba-tiba gila urusan.” kilahku dalam hati lagi.

Pete-pete kembali menyusuri Makassar yang beranjak menjadi hutan beton. Seperti biasa lagi pete-pete tiba-tiba berhenti di depan sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Seorang wanita naik sambil merunduk karena pintu pete-pete yang rendah. Bagian atas celana dalamnya kelihatan karena kemejanya yang kependekan atau jeansnya yang masih ingin dinaikkan sedikit?. Tubuh wanita ini tinggi semampai, wajahnya putih dan halus. Rambut rebonding panjang tergerai.
“Kalau tidak salah PTS yang tadi dilalui terkenal dengan “campus fried chicken”-nya, Apa mungkin salah satunya adalah wanita ini?” tanyaku dalam hati lagi.

Wanita itu duduk membelakangiku tapi tak pernah sekalipun ia menarik turun sedikit kemejanya untuk menutupi bagian atas celana dalamnya atau menutup sedikit lubang yang tersingkap yang memperlihatkan tepi atas buah dadanya.
“Apa ia tidak malu ataukah tidak merasakan keberadaanku seorang lelaki dibelakangnya!” gugatku dalam hati lagi.

Akhirnya pete-pete sampai juga didepan lorong menuju kostku yang terletak disamping gedung Pusat Da’wah Muhammadiyah (PUSDAM). Setelah memberikan tiga lembar uang 1000-an, aku menyebrang. Sementara kakiku berjalan, pikiranku masih melayang tentang orang-orang yang kutemui di pete-pete tadi.

Apa mungkin anak kecil tadi akan tumbuh seperti dua siswi SMU tadi lalu terjebak pada dunia pacaran yang menurutku hanya bentuk lain dari sex bebas. Kemudian hamil tapi pacarnya tidak mau tanggung jawab terlanjur basah lebih baik jadi wanita panggilan, ayam kampus atau PSK high class mumpung wajah cantik dan body sexy kemudian jadi istri simpanan pejabat, pengusaha, anggota DPR kemudian hamil melahirkan anak gadis yang kemudian akan menjadi seperti itu lagi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Labirin"

Posting Komentar