Catatan Dari Workshop Cerpen Kompas 2015
![]() |
(Suasana workshop cerpen Kompas 2015 di Makassar)
(Sumber gambar: print-kompas[dot]com)
|
Ketika tahu ada workshop Cerpen Kompas setahun lalu, saya hilang harapan tak akan pernah bisa menghadirinya, karena selain dilaksanakan di Jakarta, juga harus melalui seleksi ketat dengan banyak pesaing dari seluruh Indonesia. Namun ketika mengetahui akan dilaksanakan di Makassar pada 3 Juni 2015, harapan saya hidup kembali. Syaratnya, harus mengirim dua cerpen yang akan diseleksi. Langsung saja kukirim. Hasilnya, saya lolos seleksi bersama tiga puluh peserta lainnya. Meski baru tahu lolos sehari sebelum worshop berlangsung.
Salah satu peserta yang lolos adalah Fitrawan Umar, penyair yang pernah menerbitkan buku puisi 'Roman Semesta'. Karena saya tak tahu letak tempat pelaksanaan workshop, saya menghubungi mantan ketua FLP Sulawesi Selatan itu. Kami pun berangkat bersama.
Workshop kerjasama antara MIWF dan Kompas ini, mulai dilaksanakan jam 9 pagi di hotel same, Jl. Pattimura ruang batavia lantai tiga. Ketika kami tiba, baru ada beberapa orang peserta. Setelah registrasi dan mengganti baju dengan t-shirt yang disiapkan panitia, saya masuk ke ruangan. Tak perlu menunggu lama, acara pun dimulai.
Setelah sambutan dari perwakilan Kompas, materi pertama dimulai. Pematerinya adalah Aan Mansyur, penulis buku 'Perempuan Rumah Kenangan'. Pada sesi pertama itu, pengarang yang juga penyair ini mengkritik cerpen-cerpen yang dikirim peserta. Menurutnya, cerpen-cerpen peserta itu tak lebih dari sekadar teknik saja. "Memiliki daging tapi tidak memiliki darah," ujarnya.
Selanjutnya, ia mencontohkan sebuah cerpen bagus karya penulis Israel. Cerpen itu berkisah tentang petugas pipa yang bertugas memasukkan kelereng dalam pipa. Suatu hari ia sendiri yang masuk ke dalam pipa itu. "Setelah membaca cerpen itu, pandangan saya tentang pipa telah beubah. Itu seperti membuat saya keluar dari diri saya, dan ketika masuk kembali, sudah tidak cocok dengan diriku yang lama," urainya.
Setelah memaparkan sedikit pandangannya tentang cerpen, Aan Mansyur melanjutkannya dengan diskusi. Beberapa peserta antusias bertanya. Dalam sesi pertanyaan itu, seorang laki-laki berkacamata mengenakan jins biru, t-shirt dan topi memasuki ruangan workshop. Ia adalah Agus Noor, penulis kumpulan cerpen 'Selingkuh Itu Indah', yang akan menjadi pemateri selanjutnya.
Materi sesi pertama berakhir dilanjutkan dengan coffee break. Setelah itu giliran Agus Noor yang mengisi sesi kedua. Tanpa banyak basa basi, ia langsung bertanya pada peserta satu persatu: mengapa kamu menulis. Saat itu saya menjawabnya, "karena ada yang ingin saya ceritakan." Sepanjang Agus Noor terus bertanya pada peserta, saya terus memperhatikan sepatu nike yang ia kenakan. Entah mengapa.
"Dalam menulis cerita, kalian pikir apa yang orang lain tidak pikir," saran Agus Noor. Kalau kalian berpikir sama dengan yang orang banyak pikir maka ceritamu akan menjadi cerita biasa, lanjutnya lagi. Materi sesi kedua ini terus berjalan dan tak terasa waktu istirahat tiba.
Sebelum peserta keluar makan siang, Agus Noor membagikan pada setiap peserta sebuah kartu remi yang telah ditempeli label. Pada label itu, peserta harus menuliskan satu kata. Kemudian kartu itu dikumpul kembali. Selanjutnya setiap peserta kembali dibagikan tiga kartu remi. Peserta harus mengarang cerita berdasarkan kata yang tertulis pada tiga kartu remi tersebut. Saya mendapat tiga kata: sisir, (buah) jamblang, dan merah. Ketika pergi makan siang, saya bingung cerita apa yang bisa saya tulis dari tiga kata tidak nyambung itu.
Ketika masuk kembali ke dalam ruangan, beberapa peserta yang telah masuk sebelumnya sedang menonton video dokumenter. Dalam video itu, beberapa orang, diantaranya vokalis Endank Soekamti, diperlihatkan sebuah foto, dan harus menyatakan pendapatnya tentang foto itu.
Saya tidak menonton dengan baik video itu karena saya langsung mengetik apa saja yang ada dalam kepala saya yang berhubungan dengan tiga kata tadi. Sambil sesekali berhenti mengetik, saya memperhatikan satu persatu peserta kembali duduk di kursinya. Materi sesi kedua kembali berlangsung.
Hampir semua peserta sibuk mengetik. Sementara Agus Noor dan Aan Mansyur duduk bersisian. Sambil menulis, peserta diminta untuk bertanya atau menyampaikan kendala yang dihadapi saat mengarang. Silih berganti, dua pengarang itu menjawab. Bahkan Agus Noor menjelaskan dengan white board.
Waktu yang kurang lebih dua jam itu berakhir dan ceritaku juga rampung. Sesi kedua selesai. Sesi ketiga dilanjutkan oleh Frans Sartono, salah satu redaktur cerpen Kompas sekaligus jurnalis harian yang didirikan P.K.Ojong itu. Ia mengatakan bahwa semua orang memiliki peluang yang sama cerpennya bisa terbit di Kompas.
Acara ditutup dengan foto bersama, peserta, pemateri, panitia MIWF, dan pihak Kompas. Saya pulang dengan perasaan puas, selain menambah ilmu, bisa melihat Agus Noor (orang yang selama ini saya baca dan pelajari cerpen-cerpennya), juga saya membawa pulang hadiah.
Dari pelatihan ini, ada satu hal yang ingin saya sampaikan, bahwa tidak ada alasan menulis cerita itu sulit. Buktinya, dalam rentang waktu sekitar dua jam itu (lanjutan sesi kedua setelah istirahat makan siang), saya bisa menghasilkan cerita dari tiga kata tidak nyambung itu walaupun masih jauh dari kata sempurna. Dan saya yakin kalian bisa meniru cara saya ini.
![]() |
(Fitrawan Umar, salah seorang peserta Workshop Cerpen Kompas) |
Cara yang pertama saya lakukan adalah tidak merencanakan apapun karena ketika saya memikirkan terus apa yang saya ingin tulis, maka pusinglah yang saya rasakan. Jadi saya mempratekkan teknik dasar menulis, yaitu menulis buruk dengan otak kanan. Teknik itu mengajarkan tulis apa saja yang ada dalam pikiranmu meski itu tidak nyambung. Jadi saat itu, saya menulis apa saja yang ada dalam pikiran selama 30 menit. Saya sudah terbiasa melakukan ini karena pernah dalam setiap hari saya menulis apa saja 15-30 menit.
Setelah waktunya berakhir, saya mulai mengedit: membuang yang tidak penting dan mengumpulkan lalu menyambung yang penting. Setelah membaca yang nyambung, saya sudah bisa meraba cerita apa yang akan terbentuk dari tiga kata: sisir, jamblang, dan merah.
Sudah jadi kebiasaan, saya suka membuat cerita tragedi, ada tokoh yang mati, dan absurd. Jadi secara garis besar, ceritanya seperti ini: sepasang kekasih memulai hubungan cintanya di bawah pohon buah jamblang pada waktu senja. Setelah menyatakan cinta, karakter laki-laki terus melihat senja berwarna merah padahal sebelumnya berwarna keemasan. Karakter perempuan adalah pengkoleksi sisir. Suatu ketika, karakter laki-laki menghadiahkan sebuah sisir pada pacarnya itu. Dan pacarnya bunuh diri menggunakan sisir itu pada waktu senja.
Setelah cerita terbentuk, saya kembali menulis buruk dengan otak kanan, namun kali ini harus menulis yang ada hubungannya dengan garis besar cerita saya. Setelah itu saya mengedit lagi. Cerita pun mulai terbentuk, ada plot, alur, dan klimaks. Kemudian saya mencari data tentang jenis-jenis sisir di google. Mengedit lagi utamanya diksi dan tata kalimat. Cerita pun rampung.
Ada banyak teknik mengarang, selain tiga kata tidak nyambung, ada juga wawancara diri sendiri. Terserah kalian ingin pilih yang mana.
Ini adalah contoh cerpenku yang menggunakan jurus tiga kata:
Pohon Terkutuk
Ketika
melihat sebuah sisir dan sebutir buah jamblang, aku teringat pada sebuah senja
yang merah.
Waktu
itu kami pulang dari kegiatan ekstrakurikuler PMR. Sebenarnya rapat PMR usai
pada jam tiga sore tapi aku sengaja menahannya untuk jangan pulang dulu. Telah
kutanamkan jauh ke dalam diriku bahwa aku harus menyatakan cinta hari itu.
Kubonceng
ia dengan motor menuju ke pinggir pantai. Aku ingin menyatakan cinta pada saat
senja hari, saat senja membakar bumi dengan warnanya yang keemasan di sana.
Namun di tengah perjalanan, ia meminta singgah. Ia menyangka akan dibawa ke
sebuah tempat dan aku akan berbuat mesum. Aku memang tak mengatakan sebelumnya
bahwa aku akan membawanya ke pinggir pantai. Tapi di atas motor, ia terus
meronta, dan kami terpaksa singgah. Karena tak baik menyatakan cinta di pinggir
jalan, aku mengajaknya ke bawah sebuah pohon buah jamblang yang tak jauh dari
pinggir jalan.
"Aku mencintaimu
sejak pertama kali melihatmu," kataku
"Lantas apa
urusannya denganku," katanya dengan ketus.
"Aku terus
memikirkanmu sehingga seakan setiap sudut rumahku ada wajahmu."
"Kalau begitu
keluarlah dari rumahmu dan tinggallah di kuburan."
"Jadilah pacarku."
"Apa manfaatnya
bagiku?"
"Aku akan
membuatmu bahagia."
Setelah
menyatakan cinta hari itu, aku selalu melihat senja beubah merah, tapi tak
mempedulikan itu karena telah dimabuk cinta.
Salah
satu yang membuatku sangat jatuh cinta pada dirinya, karena ia menawarkan
banyak ketakterdugaan. Seperti ketika aku menyatakan cinta, kuanggap ia akan
menolakku dengan pernyataan-pernytaan ketus seperti itu, tapi akhirnya ia
menerimaku. Pun ketika hubungan kami memasuki tahun keempat dan saat itu hari
ulang tahunku yang ke 21. Saat itu aku berada di luar kota untuk menjalani
praktek kerja mata kuliahku di sebuah sungai. Ia terus menghujaniku dengan sms
beraroma rindu. Kupikir ia akan memberiku kejutan seperti sinetron-sinetron di
tv. Namun sesampaiku di tempat kost dan bertemu dengan dirinya, ia begitu tak
peduli, seperti tak pernah mengirimiku sms-sms rindu dan tak pernah menyinggung
sekalipun tentang ulang tahunku. Aku sebenarnya kesal dengan perbutannya, tapi
itulah yang membuatku semakin cinta dengan dirinya.
Pacarku adalah
pengkoleksi sisir. Sudah begitu banyak koleksinya. Ketika kutanya berapa
jumlahnya, ia pun sudah tak bisa menghitung dan memang tak ingin melakukannya.
Pokoknya, ketika ada sisir yang ia suka maka ia akan membelinya. Ia telah
memiliki sisir pick comb bagi orang
yang berambut ikal, sisir wide-tooth comb
untuk merapikan rambut keriting dan sisir dayung yang berbentuk kotak dengan
bantalan sikat yang nyaman. Masih ada sisir sasak, round brush, sisir berventilasi, half-rounded brush, sisir sikat, teaser comb dan styling comb.
Ia juga memiliki sisir untuk anjing dan kucing.
Saya membayangkan
surga adalah sebuah toko sisir, katanya suatu ketika. Ia menyukai sisir karena
pada saat kecil ia berambut geriting. Ia dan ibunya berjalan mencari sisir yang
cocok dengan dirinya namun sangat susah mencari sisir seperti itu. Seluruh
penjual sisir telah ia datangi di kotaku, tapi ia tak kunjung menemukan. Tempat
tinggal kami hanyalah kota kecil di tepi pantai yang tak beranjak berkembang.
Sejak saat itu jejeran sisir yang indah di penjual sisir terus melekat di benaknya.
Ia
sangat ingin memiliki sisir tanduk. Sebuah sisir yang berujung runcing yang
memudahkan untuk menjumput dan mengambil helai rambut. Ia telah memiliki sisir
seperti itu sebelumnya namun entah ke mana. Maka ketika mengikuti pelatihan di
Jakarta, aku berkeliling mencari dan akhirnya mendapatkannya. Setelah kembali
ke kotaku, aku tak memberikannya langsung. Aku menunggu sampai ulang tahunnya
yang ke 26 dan waktu itu adalah hari aku akan melamarnya juga.
**
Aku
hanya duduk lesu setelah mendengar berita dari ibunya. Ia menusuk lehernya
dengan ujung sisir tanduk saat senja merah. Aku tak pernah menyangka hadiah di
hari aku melamarnya, digunakan untuk mengakhiri nyawanya. Hubungan kami selama
sepuluh tahun tak cukup memberiku firasat atau membaca pertanda bahwa ia akan mengakhiri hidupnya dengan
tragis. Setelah peristiwa itu, senja tak pernah merah lagi.
Masa sedih karena
kematiannya kujalani dengan tinggal di rumah kakek di luar kota tempat
tinggalku. Di rumahnya ada begitu banyak lukisan. Awalnya aku tak terlalu
peduli tapi lama kelamaan aku menyadari ada keganjilan dari lukisan itu. Semua
lukisan baik itu pemandangan, hewan, manusia, rumah, mobil, ada satu benda yang
ada pada semua objek lukisan itu: pohon buah jamblang. Tangkai-tangkai pohon
itu adalah taring dan berwarna merah. Dan itu mendorongku untuk bertanya pada
nenek karena kakek telah lama meninggal.
Nenek pun membocorkan
sebuah rahasia hitam. Ternyata pohon itu adalah pohon terkutuk. Barang siapa
yang menjalani sebuah hubungan di bawahnya maka akan berakhir tragis.
Pohon buah jamblang
tumbuh begitu rindang. Batangnya yang tak begitu besar dan memiliki banyak
tangkai. Banyak anak-anak yang sering memanjat dan memetik buahnya. Pohon
seperti itu hanya tumbuh tiga buah di kotaku. Dua diantaranya terletak di
tempat yang tak mudah diakses. Yang satu di lereng gunung dan satunya lagi di
dalam sebuah hutan yang jarang dikunjungi di pinggiran kota. Hanya satu pohon
yang mudah dikunjungi: pohon yang tempat aku menyatakan cinta.
Setelah pulang ke kotaku, amarah begitu menguasaiku dan bermaksud menebang pohon buah jamblang yang ada di pinggir jalan itu. Namun setelah sampai, pohon itu tak ada seperti tak pernah tumbuh di tempat itu.
wahh good info banget nih
BalasHapusKNIC Industrial Park