Mengapa Aku menulis? (bag.2)



Dari dulu saya ingin jadi penulis karena aku biasa pusing setelah membaca sebuah buku aku bingung dimana harus melampiaskannya, maka aku menulis.


Hingga saat ini sudah ada beberapa cerpen dan puisi yang kutulis. Namun tak ada satu pun yang pernah diterbitkan di media. Saya hanya menerbitkannya di blogku tapi hanya asal-asalan juga.

Terus terang saat ini aku tak pernah mengarang cerpen dan puisi lagi. Inspirasiku terasa buntu ibarat air selokan. Jadi selama ini aku hanya terus menulis dalam diary.

Meminjam istilah penulis Kambing Jantan, Raditya Dika, saat diinterview oleh Farhan pada sebuah program yang disiarkan oleh Tv One, bahwa menulis diary itu “sangat bencong”. Memang selama ini anggapan yang berkembang di masyarakat, menulis diary itu adalah kebiasaan perempuan. Jadi bila ada laki-laki yang menulis diary maka disamakan dengan bencong.

Menurutku terserahlah, mau “sangat bencong”, “sangat banci” atau “sangat bances” sekali pun, aku akan tetap menulis diary.

Aku menulis diary berdasarkan dua alasan kuat, pertama untuk mengurai benang kusut ide yang tiap detik terlintas di kepalaku. Hasilnya banyak konsep yang lahir kemudian kuaplikasikan dalam kehidupanku. Kedua adalah melatih kebiasaan menulis. Menurut beberapa penulis terkenal, menulis itu adalah 20% bakat dan 80% kebiasaan atau latihan. Jadi agar aku terbiasa menulis maka aku selalu menulis diary.

Mungkin sudah berpuluh-puluh lembar kertas dan berliter-liter tinta yang kupakai untuk menulis diary. Awalnya aku hanya menulis pada lembaran-lembaran kertas. Aku memiliki banyak kertas bekas makalah atau copy-an buku kuliah. Daripada menganggur lebih baik aku menulis dibalik kertasnya yang masih kosong. Tapi sekarang aku berhenti memakai lembaran kertas. Sekarang aku memakai buku dengan kertas berukuran A6. Kertas dalam buku itu berjumlah 300 lembar.

Aku tidak menulis pada kertas selebaran lagi karena terlalu repot untuk membawanya dan bila tercecer bisa gawat. Selain itu catatan harianku yang kutulis pada selebaran telah kubakar karena kebanyakan berisi perjalanan hidupku yang kelam. Dulu setelah membakarnya aku cerita pada temanku. Dia berkata mengapa dibakar?, tulisan masa lalu itu bagus dijadikan “kaca spion” tapi menurutku aku tak butuh “kaca spion” lagi.

Banyak hal yang aku tuliskan dalam diaryku. Paling dominan adalah curahan hati dan curahan gagasan.

Aku menulis curahan hati saat rindu pada seorang wanita namun aku tak ingin menyatakannya karena terhalang oleh komitmenku sendiri. Aku juga banyak menulis banyak kekesalanku dan kekecewaanku pada diri sendiri saat gagal menjadi manusia dewasa.

Aku menulis curahan gagasan saat akan mengambil suatu tindakan. Hal itu kulakukan karena biasanya sebelum bertindak aku selalu ditarik-tarik oleh banyak pertimbangan hingga aku plin-plan dan bingung sendiri. Setelah aku menulis aku menemukan keputusan yang tepat yang harus kulakukan utamanya jika keputusan itu berkaitan dengan hubungan sosioemosionalku dengan seseorang atau berkaitan dengan masa depan studiku.

Sekian dulu tulisanku tentang aku dan diary. Sampai jumpa pada tulisan selanjutnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengapa Aku menulis? (bag.2)"

Posting Komentar