Mengapa Aku menulis? (bag.1)




"Saya tidak pernah memutuskan untuk menjadi penulis. Pada awalnya saya tidak berharap mendapatkan nafkah dengan dibacanya karya saya. Saya menulis sebagai seorang anak yang gembira ketika memahami hidup lewat pikiran saya," (Nadine Gordimer)

Saya mengutip tulisan itu dari www.ruangbaca.com, edisi 31 Maret 2009 yang ditulis oleh Sidik Nugroho. Saya mengutip tulisan itu bukan untuk angkuh-angkuhan atau berlagak seperti penulis hebat tapi apa yang dikatakan oleh Nadine Gordimer itu sangat mewakili saya.

Ketika pertama kali membaca kalimat “saya menulis sebagai seorang anak yang gembira ketika memahami hidup lewat pikiran saya,” saya langsung merasa menemukan teman dalam hal alasan mengapa saya harus menulis.

Pertanyaan “mengapa saya harus menulis?” acapkali menerorku. Buat apa aku menulis, toh aku adalah mahasiswa Geografi yang seharusnya menyibukkan diri dengan menggambar peta. Buat apa aku menulis, toh tulisan itu tak akan sudi dibaca oleh orang lain karena buat mereka membuang waktu membaca tulisanku yang tak berjenis kelamin. Mau dikategorikan puisi, bukan juga, mau dikategorikan esai, bukan juga atau apa pun jenis genre sastra.

Dilain sisi, aku adalah orang yang terbiasa melakukan sesuatu dengan terlebih dahulu harus menemukan alasan mengapa aku harus melakukan hal itu. Misalnya bila aku makan maka aku kenyang. Bila aku tidur maka rasa lelahku akan hilang. Bila aku mandi maka badanku tidak bau. Sedangkan bila aku menulis maka aku akan mendapatkan apa?

“Aku menulis, yah karena aku ingin menulis, itu saja” kataku dalam hati. Akibatnya, aku tak pernah menulis lagi untuk beberapa waktu yang lama. Tapi aku merasakan pikiranku tersumbat. Aku membayangkan pikiranku seperti air yang berada dalam bak mandi yang tak pernah digunakan. Bila air itu tak dikuras maka akan membusuk atau menjadi sarang jentik-jentik nyamuk. Bila aku tidak menulis maka segala lintasan ide yang konon mencapai 4000/24 jam yang ada dikepalaku tidak tahu akan kualirkan kemana. Aku sempat khawatir sebentar lagi aku akan jadi orang gila. Akhirnya aku mengambil kertas dan mulai menulis segala hal yang ada dalam pikiranku.

Pernah suatu waktu aku marah pada seorang teman dan telah lama aku sangat ingin melampiaskan dengan cara memukulnya tapi jelas bila tindakan itu kulakukan maka akan muncul masalah baru, tapi bila kupendam lagi maka akan menjadi penyakit juga. Aku mencoba menghindar bila aku bertemu dengannya tapi rasa amarah itu tetap ada. Aku pun mengambil kertas buram lalu menumpahkan kata-kata caci maki terhadap temanku itu. Hasilnya, rasa amarah yang melilitku itu berangsur-angsur mengendur.

Tak terasa aku terus menulis hingga kini. Ajaibnya, aku merasakan ada yang kurang bila dalam sehari aku tak menulis. Apa saja yang aku tulis dalam diary. Segala emosi, pemikiran dan cita-cita kutuliskan disana. Hasilnya, aku menemukan banyak hal, mulai dari siapa aku sebenarnya, semangat hidup, solusi bila aku mendapatkan masalah, teman yang bersedia mengangkatku bila “terjatuh”, apa sebenarnya yang kuinginkan dalam hidup ini, istri yang meredam rasa amarahku yang sering memuncak, cita-citaku, potensiku dan yang kusuka dan kubenci dari orang lain. Singkatnya dengan menulis saya memahami hidup lewat pikiran saya sama seperti yang dialami oleh Nadine Gordimer. Terakhir saya sangat berharap bisa menjadi penulis peraih nobel seperti beliau. Amiiin.

Terakhir aku mengutip lagi sepenggal tulisan Radhar Panca Dahana dalam pengantar kumpulan cerpenya “Cerita-cerita Negeri Asap”.

Radhar telah menulis dan itu lantaran alasan yang elektronik: ia memiliki diri yang berdegum hati, pikiran dan kelenjar-kelenjar biologisnya, dimana bahasa prosa yang meluncur dari jari-jarinya tak terhindar untuk bicara. Ia tak berani berharap ada diri lain yang menangkap dan berdialog dengannya di kesunyian alam gagasan. Sebagaimana ia tak berharap prosa dapat menyelamatkan hidupnya yang tenggelam…”

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengapa Aku menulis? (bag.1)"

Posting Komentar