Talimpau

Tenaga kami habis diperas oleh jalan yang entah telah berapa kali kami lalui. Lapar semakin buas melilit perut. Baju yang telah basah kuyup seperti menjadi ribuan paku yang menusukkan dingin ke kulitku yang mulai mati rasa. Terngiang ancaman penduduk desa sebelum kami mendaki: ”jika kamu tetap kukuh ingin mendaki maka kamu akan diculik Talimpau”.

Menurut cerita penduduk desa bahwa tak pernah ada yang selamat pulang dari mendaki gunung Tirasa ini. Lima tahun lalu delapan orang pernah datang ingin membangun menara sinyal telepon seluler di atas gunung. Mereka dilarang tapi tetap mendaki dan hingga saat ini mayatnya belum ditemukan. Penduduk yakin mereka diculik Talimpau.

Kami menganggap cerita-cerita itu hanya omong kosong karena penduduk di beberapa desa yang pernah kami datangi selalu juga melarang kami mendaki. Kami tetap melakukannya dan ternyata kami tetap bisa pulang tanpa kurang satu apa pun. Selain itu bila kami percaya dengan omong kosong itu maka tugas kami sebagai peneliti sumber daya lahan tak akan pernah terlaksana.
Awalnya pendakian berjalan lancar tapi saat mencapai ketinggian 1.200 m di atas permukaan air laut, tiba-tiba hujan tertumpah dari langit. Tutupan vegetasi pun sangat rapat sehingga GPS kami tak mampu menerima informasi titik koordinat dari satelit. Celakanya, kompas dan altimeter juga tiba-tiba tak berfungsi.

Saat hujan mulai reda kami melihat peta dan mencocokkan dengan posisi terakhir –titik awal- kami berhenti kemudian melanjutkan perjalanan. Kami menyangka telah tiba pada titik tujuan akhir yang tertera dalam peta tapi ternyata kami kembali lagi pada titik awal.


Kami mencoba menjadikan lumut yang melekat di pohon untuk dijadikan dasar penunjuk arah tapi hasilnya kami tetap berputar-putar di tempat ini. Cara terakhir yang kami lakukan adalah membelah bambu lalu jalan melewati bagian tengahnya. Cara ini dulu kudapatkan dari instruktur saat saya mengikuti pendidikan dan latihan dasar pencinta alam. Menurutnya, cara ini mampu menolong pendaki karena disesatkan oleh mahluk gaib. Tapi cara ini tetap gagal.

Saat kondisi kami semakin kritis, samar-samar terlihat empat orang mengendarai kuda menghampiri kami lalu pandanganku berangsur-angsur jadi gelap.

Saat aku membuka mata terlihat atap rumbia, dinding tabba dan badanku telentang di atas pangka-pangka. Kulihat kedua temanku masih tertidur pulas. Kulangkahkan kakiku menuruni pangka-pangka lalu keluar dari ruangan berdinding tabba itu.

Seorang laki-laki telanjang dada yang mengenakan sarung dan terjepit sebatang rokok di kedua belah bibirnya yang agak hitam menghampiriku.
“Bagaimana keadaanmu nak?”
“Sudah agak baikan pak”
Dia lalu mengulurkan tangannya
“Nama saya pak Jama’ tetua di desa ini”
“Nama saya Azis pak. Sepertinya saya pernah melihat bapak sebelumnya?”
Pertanyaanku itu hanya dijawab senyuman oleh pak Jama’

***

Malam harinya kami di undang oleh pak Jama’ ke rumahnya. Ia menayakan apa yang kami lakukan di atas gunung Tirasa hingga pingsan saat ditemukan oleh warganya. Aku pun menceritakan seluruh yang kami alami.

Malam semakin larut terasa udara dingin menghujam ke pori-pori. Pak Jama’ menceritakan keadaan desa ini.

“Desa ini dikepung oleh tiga gunung dan terisolasi dari desa-desa lain, letaknya betul-betul jauh di pedalaman. Butuh tiga hari tiga malam untuk mencapainya dengan mendaki gunung Tirasa, menerobos hutan belantara dan menyebrang sungai. Penduduk di sini biasanya memakai kuda untuk keluar membeli kebutuhan pokok sekali dalam satu bulan.”

Kami diizinkan untuk sementara tinggal di desa ini hingga penduduk keluar lagi. Tapi baru dua hari yang lalu penduduk keluar desa, artinya kami harus menunggu 28 hari lagi. Sebelum Pak Jama’ mengakhiri pembicaraannya, ia berpesan agar kami berlaku sopan selama menumpang di desa ini.

***

Angin sore yang lembut berhembus sembari mengantar matahari kembali ke peraduannya. Di dalam rumah, melalui jendela kuamati pak Jama’ yang sedang memandikan kudanya. Aku benar-benar yakin pernah melihat orang ini sebelumnya. Selama lima menit aku mencoba memasuki seluruh ruang ingatanku. Akhirnya kutemukan, aku pernah melihat beliau dalam sebuah foto.

Aku bergegas menuju ke kamar lalu ku acak-acak ranselku. Kutemukan foto pemberian kakek sebelum meninggal. Dalam foto itu terlihat kakek yang masih muda bersama seorang laki-laki. Beliau bercerita bahwa laki-laki itu adalah sahabatnya yang meninggal disembelih oleh tentara Jepang. Saat memberikan foto itu ia berpesan agar membawanya jika nanti mendaki di gunung Tirasa.

Aku tak percaya. Kucocokkan lagi wajah yang ada di foto itu dengan wajah pak Jama’, tidak lagi mirip, tapi mereka adalah orang yang sama. Apakah kenyataan ini ada hubungannya dengan pesan kakek agar aku membawa foto ini bila mendaki gunung Tirasa?.

***

Bulan purnama menerangi langkahku menapaki anak-anak tangga rumah pak Jama’. Keputusanku ini cukup gila. Aku ingin menyelidiki adakah bukti-bukti yang dapat menguatkan duganaanku bahwa orang yang ada di foto ini adalah pak Jama’. Aku mengendap-endap mendekati jendela. Kuintip ke dalam ruangan yang hanya diterangi lentera.

Ada sentuhan keras di bahuku. Aku tersentak lalu menoleh, ternyata pak Jama’. Tanpa sepatah kata, ia langsung menyeretku masuk ke dalam rumahnya. Ia mendorongku dengan kasar, aku pun terbentur di dinding.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” bentaknya
Aku mengeluarkan foto dari saku jaketku lalu menyodorkan ke pak Jama’. Ia langsung mengambil foto itu dan menatapnya lekat-lekat.
“Di mana kamu mendapatkan foto ini?”
“Dari kakekku”
“Siapa nama kekekmu?”
“Syamsuddin”

Setelah kemarahan pak Jama’ mereda, cerita pun mengalir deras dari mulutnya: “Dulu desa ini adalah basis terakhir pejuang kemerdekaan karena itulah Jepang sangat ingin membumihanguskannya. Selama sepekan tentara Jepang memborbardir desa ini tapi tidak berhasil maka jepang pun mundur. Setelah sebulan semenjak kemunduran tentara Jepang, desa kami kehabisan obat-obatan, saya dan kakekmu ditugaskan menjemput bantuan obat-obatan. Saat pergi menjemput obat-obatan kami ditangkap oleh tentara jepang. Mereka memaksa kami untuk memberitahu letak persembunyian pejuang kemerdekaan.
Awalnya kami tidak mau tapi karena kami terus disiksa akhirnya kami membocorkannya tapi dengan syarat tidak membunuh perempuan dan anak-anak. Setelah membocorkan rahasia itu kami dibebaskan. Saat tentara Jepang menyerbu desa, kami bersembunyi. Ternyata mereka berkhianat. Tentara terkutuk itu bukan hanya membunuh tentara pejuang kemerdekaan tapi juga membantai seluruh perempuan dan anak-anak. Tiga hari setelah pembantaian kami ditangkap oleh tentara Jepang. Saya lalu disembelih sedangkan kakekmu berhasil melarikan diri.”

***

Saat membuka mata, samar-samar kulihat ibu, ayah, selang infus yang menempel di lenganku, dinding dan selimut putih.

“Kamu sudah sadar nak. Kamu koma selama dua hari setelah ditemukan tiga hari tersesat di gunung Tirasa ” kata ibu sambil mengelus kepalaku.

Makassar, 12 Januari 2010


Keterangan:

Talimpau: mahluk gaib yang jadi legenda di suku bugis Pinrang (Sulawesi Selatan) yang mampu menyembunyikan manusia dan membuatnya berhalusinasi

Tabba: anyaman bambu

Pangka-pangka: tempat istirahat yang terbuat dari bilah bambu

Global Positioning System (GPS): alat dengan sistem navigasi berbasis satelit yang dapat memberikan informasi mengenai koordinat suatu lokasi di bumi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat

Altimeter: alat yang digunakan untuk mengukur ketinggian relatif suatu tempat/titik terhadap muka air laut


Puisi Akbar Kasmiati


Anggota DPR

Anggota DPR berdebat hebat disertai caci maki lagi malam ini
karena uang ibu pertiwi dicuri century

Di Talk Show TV besok pagi
"Mereka tak bisa lagi jadi panutan" fatwa pengamat politik
"Kawan, caci maki hal biasa di negeri ini" balas anggota DPR

Pemilu mendatang mereka lagi kita pilih
memang kita tak bosan-bosan dibodohi
diiming-imingi janji-janji ilusi



Pengakuan

Ku tulis sajak ini menggunakan tinta air mata.

Sore itu tiba-tiba aku jatuh cinta padamu. Padahal sebelumnya aku tak menginginkannya. Keteraturan tata surya yang melekat di tubuhmu menarik segala perhatianku. Senyummu yang senantiasa dikerubuni semut mengajakku untuk mencampurnya dengan teh lalu kuteguk. Sungguh aku jatuh cinta padamu sore itu.

Malam itu engkau datang mengunjungi rumahku yang membusuk karena banjir melengkapi segala kutuk baginya. Engkau datang berselimut gelap. Malam itu engkau tebar segala bahagia.

Tubuhmu terguncang menahan air mata yang akhirnya pecah juga. Engkau rela melunturkan isak tangis yang kau tak tahu bahwa itu kepalsuan. Malam itu kau mengikrarkan pengakuan: dua cahaya menjemputmu saat engkau mabuk di bibir kelam.

Pagi ini masih tersisa senyum dan tangismu di ingatanku. Kemarin sore aku jatuh cinta padamu tapi sepagi ini cinta itu telah dicemari kekecewaan. Aku kecewa dengan tangismu semalam. Pengakuanmu menghapus segala harapku.

Aku pulang membawa segala luka. Aku harus kuat membendung kekecewaan ini hingga luntur segala cinta yang tak pernah kuinginkan.

Selamat tinggal.


cerpen dan puisi di atas pertamakali dipublikasikan di Tabloid mahasiswa UNM Profesi, edisi 132 tahun XXXIV 2010

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Talimpau"

Posting Komentar