Tanpa Kepala


Prang…nggg!, terdengar suara kaca pecah. Tiba-tiba aku terbangun meninggalkan ranjang, Raya, adikku yang berumur tiga tahun masih terlelap tidur. Di luar, tepatnya di ruang tamu, telah kudapati ayah, ibu dan Arya, kakak lelakiku. Terlihat mimik wajah ketegangan dan heran pada ketiga keluargaku itu. Belum terjawab siapa pelempar kaca rumahku, terdengar suara gaduh di luar rumah. Teng...teng...teng!, suara bertalu-talu dari tiang listrik yang dipukul membuat bulu kudukku merinding. Suara tiang listrik bertambah keras dari segala penjuru. Mungkin semua tiang listrik di desa ini dipukul.

"Bangun bangsat, bangun anjing,". Teriakan itu mulai terdengar. Mungkin puluhan orang tiba-tiba berteriak seperti itu. Suara kaca pecah terdengar dari keluarga pak Saleh, tetangga sebelah.
"Bu, cepat bawa anak-anak sembunyi ke belakang," perintah ayah.

Secepat kilat ibu menyambar lenganku. Raya yang baru terbangun kaget ketika ibu menyambar tangannya juga. Sekilas kupandangi wajah ayah mengeras, sementara Arya menghunus parang.
Aku, ibu dan Raya bersembunyi di dalam WC. Samar-samar kudengar pintu rumah digedor bercampur teriakan "keluar anjing, tinggalkan desa ini...!"

Ibu menangis sambil menutup telinga Raya. Mungkin agar Raya tak mendengar semua kebisingan yang bisa menyebabkan ketakutan.

Suara tiang listrik dipukul semakin keras bercampur teriakan wanita minta ampun. Semua itu bercampur suara tangisan. Kulihat air mata ibu semakin menderas.

"Pak...kkk!" kudengar pintu ruang tamu dibanting.
"Setan...!"
"Anjing.......!"
"Bunuh babi itu...!"

Umpatan-umpatan itu membuatku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi?.
Dari ruang tamu terdengar lagi suara barang pecah. Mungkin itu aquarium baruku, hadiah ulang tahun dari ayah tiga hari yang lalu. Tiba-tiba pintu WC digedor. Suara tangisan ibu bertambah keras.

"Ibu, bu, bu buka pintunya, ini Arya!,"
"Astagafirullah...!" tangan dan baju kak Arya bersimbah darah. Terlihat darah mengucur dari ujung parang yang ia pegang.
"Bu, cepat lari lewat belakang...!" perintah kak Arya
"Bagaimana keadaan bapak?" tanya ibu dengan suara serak
"Bapak baik-baik saja bu, cepat lari saja" tegas kak Arya

Tangan kak Arya yang belepotan darah mengenggam erat lenganku. Sementara ibu dan Raya berlari di depanku. Ibu sempat terjerembab karena kakinya tersandung kursi.

Tersisa dua langkah sampai di pintu belakang, dua orang lelaki memakai baju dan celana hitam datang. Lelaki yang menggunakan topi mengenggam tombak, sementara yang satunya mengacungkan samurai ke arah kami. Sepertinya aku pernah melihat laki-laki bertopi itu.
"Mau ke mana sialan!" teriak salah satu dari mereka.

Kak Arya langsung menerjang kedua orang itu. Sementara ibu terus memutar gredel pintu. Kunci yang melekat di pintu sempat terjatuh karena begitu tergesa-gesanya ibu memutarnya. Raya terus menangis dalam dekapanku.

Setelah pintu terbuka, aku, ibu dan Raya berlari. Mataku masih sempat melihat lelaki yang menggunakan topi itu menghujamkan tombaknya ke perut kak Arya.

Dalam pekat malam, kami berlari tanpa tujuan. Isakan tangis ibu terdengar samar sementara Raya diam dalam gendongannya. Mataku perih terkena asap yang berasal dari rumah yang terbakar. Kakiku tersandung akar pohon yang timbul ke tanah. Saya dan Raya jatuh terguling-guling setelah itu tak sadarkan diri

***

Saat mataku terbuka, aku berada di sebuah ruangan besar dan luas. Aku tak pernah kesini sebelumnya. Ada banyak orang di sini, mulai dari orang tua hingga anak-anak yang mungkin seusia denganku. Riuh sekali dalam ruangan ini karena hampir seluruh orang menangis meraung-raung. Kulihat seorang lelaki duduk bersimpuh sambil menangis di hadapan mayat wanita yang bersimbah darah pada perut bagian kirinya. Selain itu kulihat seorang wanita tua meratapi tubuh bocah perempuan yang kehilangan lengan kanan.

Aku keluar dari ruangan itu, sepanjang mata memandang yang terlihat hanyalah lautan mayat. Ada yang menelungkup dan telentang. Ada berwarna hitam seperti jelaga yang melekat di bawah panci masak ibu. Ada yang tanpa tangan dan kaki. Ada yang terburai isi perutnya, ada juga yang tak menggunakan busana.

Aku terus mengitari mayat yang bergelimpangan. Tanpa sengaja mataku tertuju pada sebuah cincin. Rasanya aku sangat mengenal cincin itu karena setiap hari, sebelum berangkat sekolah, kucium jari manis yang mengenakan cincin berwarna silver itu. Kudekatkan wajahku dan kuamati baik-baik cincin yang melekat sedikit noda merah di permukaannya. Tiba-tiba sebuah rasa menelusup kedalam diriku lalu mengalir bersama aliran darah dan membuncah menjadi titik air mata.

Matahari pagi perlahan-lahan muncul dari balik gedung. Cahayanya menyinari aku yang duduk terpaku di depan jasad ibu tanpa kepala.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tanpa Kepala"

Posting Komentar